Jumat, 16 April 2010
MALAYSIA Boleh! INDONESIA Bisa!
Grow with Character! (86/100) Series by Hermawan Kartajaya
MALAYSIA Boleh! INDONESIA Bisa!
Saya sering berpikir, kenapa ya Indonesia kok dijajah Belanda. Kok bukan Inggris? Kalau diajah Inggris kayak Singapura dan Malaysia, paling enggak kita semua bisa lancar berbahasa Inggris. Kalau sudah begitu, kita tidak perlu "minder" dalam pergaulan internasional.
Selain itu, bahasa Inggris juga merupakan "pintu gerbang" untuk berbagai ilmu dunia. Sampai sekarang pun, bahasa Inggris juga jadi bahasa global di internet. Selain itu, negara-negara eks koloni Inggris paling tidak punya sitem pemerintahan yang rapi. Bukan itu saja, semua negara tersebut juga masih "dikumpulkan" di Commonwealth. Di situ mereka bisa saling ber-networking.
Sebaliknya, antarnegara sesama koloni Belanda hampir semua gak keruan. Ngomong Belanda juga enggak, networking juga gak ada. Belanda seolah-olah hanya "ngeruk" kekayaan Indonesia dan pergi begitu saja.
Belakangan saya baru tahu bahwa Bengkulu dulu bernama Benculen, jajahan Inggris. Lantas ditukar dengan Singapura yang koloni Belanda. Karena itu, gubernur terakhir Bengkulu yang juga gubernur pertama Singapura Rafles dihormati di dua tempat itu. Kalau gak terjadi tukar-menukar itu, mungkin Bengkulu sekarang jadi negara merdeka anggota Commonwealth dan jadi suatu pelabuhan transit yang maju. Sedangkan Singapura jadi salah satu Provinsi Indonesia! Sayang, hal itu tidak terjadi. Maka, Singapura yang pada mulanya jadi satu negara dengan Malaysia setelah berpisah langsung melesat. Malaysia yang merasa tertinggal lantas "mengejar" Singapura, terutama di bawah PM Mahathir Muhammad.
Apa pun yang dibikin di Singapura dicoba untuk dibikin Malaysia. Dengan slogan "Malaysia Boleh" yang artinya Malaysia Bisa, Mahathir mengajak rakyatnya bangkit masuk ke jajaran dunia. Saya termasuk pengagum Dr M karena itu cerita dia tidak memedulikan IMF di masa krisis Asia masuk buku Repositioning Asia!
Malaysia punya arti penting bagi pengembangan MarkPlus di ASEAN. Pasarnya 26 juta, cukup banyak.
Budayanya lebih mirip Indonesia ketimbang Singapura. Karena itu, kalau Singapura adalah showroom, maka KL (Kuala Lumpur) adalah regional head-quarter untuk ASEAN bagi saya. Karena itu, MarkPlus harus sangat kuat di Malaysia. Tapi, strateginya beda lagi. Kalau di Singapura lewat kampus, di Malaysia kombinasi. Kampus, pemerintah, dan asosiasi.
Untuk kampus, saya pernah jadi adjunct lecturer dari UTAR. Universiti Tunku Abdul Rahman ini merupakan Universitas "Tionghoa" pertama di sana. Maklum, tidak seperti Indonesia yang tidak boleh membedakan suku dan etnik. Di Malaysia, "by law" orang Melayu yang mayoritas 58 persen itu memang diistimewakan terhadap etnik Tionghoa dan India. Dalam hal ini, saya melihat "keunggulan" Indonesia yang sekarang malah punya Undang-Undang Kewarganegaraan juga Undang-Undang Nondiskriminasi.
Menjadi pengajar UTAR di Malaysia adalah suatu gengsi tersendiri. Sebab, walaupun baru, UTAR sebenarnya merupakan "kelanjutan" dari College non-degree yang sangat terkenal mutunya di sana. Saya tidak meneken kontrak baru di UTAR, ketika diangkat jadi adjunct professor di GSM-UPM (Graduate School of Management - Universiti Putra Malaysia) yang merupakan top business school di Malaysia.
Di UPM, saya bahkan diangkat sebagai salah satu international advisor yang bersidang setahun sekali. Di situ saya juga punya kebebasan untuk mengajar kapan pun dengan semua pesawat kelas bisnis dan hotel bintang lima yang dibayarin mereka. Belakangan saya juga diangkat sebagai adjunct profesor dari Asia-E-University atau AeU. Bahkan belakangan juga diminta membimbing seorang calon doctor.
Aneh kan? Saya sendiri bukan doktor, tapi diminta jadi supervisor seorang mahasiswa S-3 yang tesisnya membahas MLM! Di Malaysia pula! Walaupun saya suah berusaha menolak, si mahasiswa yang bekas mahasiswa saya di program S-2 Nanyang Fellows di Singapore tetap "ngotot". Dia enggak jadi ambil tema itu kalau saya gak mau jadi supervisornya. Akhirnya, rektor AeU pun setuju!
Di sektor pemerintah, sudah lama saya membantu berbagai instansi di sana. Pemerintah Malaysia punya anggaran besar untuk mengembangkan industri strategis maupun menengah kecil. Karena itu, saya jadi langganan untuk jadi keynote speaker dari berbagai konferensi bergengsi di KL.
ASLI atau Asia Strategy and Leadership Institute juga punya hubungan "sangat dekat" dengan pemerintah. Setiap konferensinya selalu berbobot dan jadi benchmark di sana. Saya selalu diundang Michael Yeoh yang direktur eksekutif di ASLI untuk jadi keynote speaker.
MIGHT atau Malaysia Industry and Government Alliance for Highi-Tech juga sering melakukan hal yang serupa. Saya juga mendapat undangan dua kali untuk mengikuti LID atau Lengkawi International Dialogue yang digagas Mahathir dan selalu diselenggarakan di Pulau Lengkawi. Keaktifan di pemerintah dan lembaga-lembaganya ini sangat penting untuk "meningkatkan" status di Malaysia.
Ketiga adalah asosiasi. IMM atau Institute Marketing of Malaysia saya bantuin mati-matian supaya "survive". Dr Zakaria, yang sahabat dekat Prof Hooi Den Huan, saya "bujuk" supaya mau duduk di kepengurusan IMM. Ketika Philip Kotler datang pada 2007, saya minta mereka jadi penyelenggara. Mereka untung besar ketika itu! Di IMM, saya diangkat sebagai Fellow bersama dengan chairman Telkom Malaysia.
Saya juga sering membantu CIMA atau Chartered Institute of Management Accounting, Malaysia. Alex Mulya dari MarkPlus Jakarta bahkan pernah saya minta bersama Prof Hooi untuk me-review strategi mereka. Kalau tiga komponen itu disinergikan, hasilnya dahsyat!
Selama beberapa tahun di KL, MarkPlus sudah banyak punya proyek consulting dan research. Beberapa proyek yang membanggakan adalah Sunway, HeiTech, dan 1901!
Sunway adalah perusahaan properti besar di Malaysia. Juga memiliki theme-park Sunway Lagoon, Sunway Academy, Sunway Hospital, dan sebagainya. Tim konsultasi kita waktu itu Suryo Soekarno, Alex Mulya, Waizly Darwin, dan Bayu Asmara cukup memuaskan mereka pada proyek rebranding! Mereka "buy in" ide kita untuk pakai model "monolithic branding" saja. Artinya memperkuat nama Sunway sendiri, supaya customer tidak bingung.
HeiTech Padu yang eks BUMN juga puas dengan proyek rebranding bersama tim MarkPlus yang sama. Ide tim MarkPlus untuk menggunakan "Truly Transformational" masih sangat disukai sampai sekarang.
Saya mengatakan kepada mereka bahwa dengan kata Truly sudah ada persepsi otomatis dengan Malaysia ketika mereka keluar negeri. Dan "Transformational" cocok dengan situasi pada saat itu, ketika mereka memang melakukan transformasi ke dalam. Tapi, istilah ini juga sangat cocok dengan servis mereka sebagai konsultan IT yang menjanjikan hal tersebut pada klien.
Sedang "1901" adalah brand lokal Hot Dog yang punya retail di mana-mana. Tim kami mengusulkan green food yang disukai anak-anak muda di Malaysia dan dunia. Anak muda-lah yang justru lebih dulu meng-adopt ide tersebut. Selain itu ada banyak sekali proyek riset dan training telah berjalan di Malaysia.
Sekarang, Agustinus Kusmaryanto yang asal dari Surabaya jadi kepala cabang MarkPlus Inc. di KL. Tiap bulan pun ada Saturday Gathering di ruang kelas di kantor kita yang terletak di gedung Selangor Dredging di KLCC.
Saya juga pernah berbicara di KBRI untuk memberikan semangat pada orang-orang Indonesia yang bekerja atau tinggal di KL. Saya selalu bilang jangan sampai orang Indonesia hanya dianggap "illegal worker" di KL. Tunjukkan bahwa orang Indonesia juga bisa!
Kalau ada "Malaysia Boleh!", juga harus ada "Indonesia Bisa!". Itulah juga slogan yang dipopulerkan Presiden SBY pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke seratus. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar