THE POWER OF WE; Meretas Perubahan
Kata kunci manajemen kenabian (prophetic management) adalah The Power of We. Jadi, kita hilangkan istilah ”I” (aku) dan yang ada adalah ”We” (kita), demikian semangat yang harus diusung dalam menyongsong masa depan bangsa ini.
Kalau teman-teman membaca di internet khususnya di dunia spiritual, sedang ada satu tren yang sebetulnya ini adalah konsep agama tapi dikemas dalam bentuk konsep manajemen, yaitu The Power of We. Dalam kalimat ini, kata We memang perlu dijadikan satu budaya kerja di lingkungan perusahaan.
Di Amerika, Bill Gate suatu waktu memberikan ceramah umum yang luar biasa. Ia menyebutkan pola-pola sukses yang dilakukannya dalam memanaj perusahaan Microsoft yang dipimpinnya, yang sebenarnya merujuk kepada manajemen kenabian (prophetic management). Kata kunci yang harus dipegang, menurutnya, adalah The Power of We. Jadi, kita hilangkan istilah ”I” (aku) dan yang ada adalah ”We” (kita), demikian semangat yang terusung dalam pernyataan ”Kita dan Perubahan”.
Dalam Islam kata-kata we sering diangkat dalam bahasa agama. Dalam al-Quran, meskipun Allah Maha Esa, Tunggal, seperti termaktub pada ayat pertama dalam surah al-Ikhlas ”Qul huwa Allâh ahad”, namun dalam ayat lain Allah menyebut dirinya dengan ”We” (Kami) ”Nahnu narzuqukum”, (kamilah yang memberikan rezeki). Tuhan sering menggunakan kata ”We” bukan ”I” (Aku).
Satu hal lagi yang dilakukan oleh Bill Gate dalam memanaj perusahaannya, yaitu dalam sebuah visi-misi terdapat proses seleksi (test) yang lebih memprioritaskan pada aspek psikologisnya. Divisi SDM memberikan pengukuran yang sangat ”njelimet” kepada setiap orang. Dalam testing ini ia tidak membolehkan dalam satu divisi terkumpul orang-orang yang sepaham. Kita dalam hal ini memang berbeda.
Manajemen perusahaan Microsoft memang sengaja dibuat sistem demikian dan pada akhirnya melahirkan sebuah sintesa yang sangat produktif. Menurutnya, ”kalau tidak ada satu yang baru dalam satu hari, maka kemungkinan besar perusahaan akan bangkrut”, dan semua ini sudah diprediksinya. Jadi, memang diciptakan suatu kondisi di mana ia dipicu dan dipacu oleh suatu persaingan yang sangat ketat dan sehat.
Dalam sejarah Islam pun Nabi Saw. memilih kabinetnya dengan empat pemimpin di bawahnya, yaitu Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kabinet Nabi ini dari awal hingga akhir hayatnya tidak pernah berubah. Yang menarik, pola rekrutmen Nabi mirip dengan pola Microsoft yang dijalankan Bill Gate di atas. Personalia kabinet ini satu sama lainnya juga tidak begitu sama tipologinya.
Abu Bakar misalnya, ia merupakan tipe orang yang piawai dan disegani oleh para sahabat lainnya. Pandangannya begitu kharismatik, lebih tepat dikategorikan sebagai seorang figur leader daripada manajer. Umar adalah tipe orang yang cenderung reformis, barangkali sekarang ini bisa dikatakan sebagai orang yang bergaya Islam Sekuler. Utsman merupakan sosok yang lebih sebagai manajer profesional ketimbang figur leader. Seorang manajer tidak perduli apakah ia populer atau tidak. Usman adalah tipe orang yang memiliki wawasan bisnis yang luar biasa. Suatu ketika pernah ditegur oleh Nabi Saw. karena menghibahkan seluruh hartanya (unta) dalam suatu peperangan. Namun kemudian, dalam waktu singkat Usmanpun kembali kaya dengan harta yang banyak. Ali bih Abi Thalib dikategorikan sebagai seorang cendekiawan, yang dijuluki oleh Nabi Saw. sebagai ”pintunya” dalam persoalan keilmuan (agama), di mana Nabi sendiri sebagai ”gudangnya”.
Abu bakar adalah sosok figur tempat rujukan Rasulullah. Ketika perang Badar usai, umat Islam mengalami kemenangan besar. Lalu, Nabi memanggil para kabinetnya dan memimpin langsung rapat. Nabi berkata, “Kita akan apakan tawanan perang ini?” Umar menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah tradisi kita jika tawanan perang adalah seorang laki-laki ia harus dibunuh dan perempuannya dijadikan budak?”. Lain halnya dengan Abu bakar, ia berpendapat, “Ya Rasulullah, mereka ini bukan orang sembarangan, mereka adalah orang yang memiliki banyak kemampuan dan seabreg potensi yang besar. Mereka ini dapat diberdayakan untuk umat kita. Jadi, kita bisa manfaatkan mereka sebagai pengajar bagi kaum muslimin”. Shahabat lain pun berkata, “Saya setuju dengan pendapat Abu Bakar”. Kemudian, Rasulullah mengumpulkan masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan, yang dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 orang. Mereka akan dibimbing, dibina, dan dilatih dalam segala aspek pendidikan dan keterampilan.
Akhirnya, dalam waktu singkat SDM Madinah pada waktu itu menjadi hebat dan tiga tahun kemudian Madinah pada saat itu menjadi mercusuar dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan untuk kawasan sekitarnya. Umat Islam mampu membuat produk-produk lokal yang bisa dipasarkan dan menguasai pasar Timur Tengah. Dari pihak musuh (tawanan) sangat berterima kasih kepada Islam karena mereka dibebaskan tanpa setetes darah pun yang jatuh. Sehingga, para tawanan itu masuk Islam bukan karena paksaan, tapi karena kerelaan dan kekaguman mereka akan ajaran Islam.
Ini salah satu bukti keberhasilan manajemen yang dibuat oleh Rasulullah. Abu Bakar dan Umar selalu berseberangan pendapat. Kita tahu bahwa umar adalah sosok yang kritis jika ada yang tidak sesuai dengan visi-misi yang diemban bersama, maka ia akan memprotesnya, termasuk Rasulullah sendiri. Sebagai seorang manajer yang kritis, ia tidak mengabdi kepada figur (orang), tapi ia komitmen terhadap visi-misi yang telah ditetapkan. Satu hal yang sangat istimewa pada diri Umar, dialah salah seorang shahabat yang sering berdebat dengan Rasulullah. Lebih istimewanya lagi, karena seringkali perbedaan pendapat antara keduanya (sampai-sampai) menyebabkan ayat turun dan ironisnya ayat itu lebih memihak kepada Umar.
Di sini bisa dibayangkan, bagaimana bisa dikatakan Rasulullah sebagai kepala negara dan Rasul tidak sukses dalam memanaj pemerintahannya, padahal hanya memiliki empat personalia kabinet (khulafâ ar-Râsyidîn)? Hal lain, dalam memilih pembantunya, Rasulullah tidak KKN. Suatu saat pernah ada yang protes, ”Kenapa sekretaris Nabi itu (Zaid bin Tsabit) adalah seorang budak?”. Belakangan para ilmuan baru mengerti, karena Zaid bin Tsabit adalah satu-satunya sahabat Nabi yang mampu menguasai 6 (enam) bahasa dunia, di antaranya Suryani, Hebrew, Yunani, dan Ibrani (Arab). Semua keinginan Rasulullah diterjemahkan dalam bentuk surat tertulis. Jadi, ia lebih sebagai konseptor Nabi.
Mengapa Nabi Muhammad sukses? Karena yang bekerja bukan hanya fisik dan otaknya, tapi juga ada heart (hati). Jangan heran, sekarang ini di Amerika tes IQ tidak begitu umum lagi, tapi yang populer adalah tes EQ (Emotional Question atau Kecerdasan Emosional). Yang jelas, dari contoh-contoh konkrit di atas menjelaskan bahwa apa yang dipasarkan oleh manajemen modern itu ternyata ada pada masa Nabi Saw. Kita hanya keliru membaca secara tekstual.
Kesimpulannya, orang yang cerdas akalnya belum tentu mampu memanaj perusahaan yang besar. Karena, orang yang pintar yang IQ-nya tinggi itu belum tentu jujur, berani mengambil keputusan, loyal, dan mencintai pekerjaannya, dimana ini semua adalah hal penting dalam suatu perusahaan. Mereka yang cerdas secara emosional, walau tidak pintar, tapi mereka loyal, mencintai pekerjaan, tangguh, dan berani mengambil keputusan. Inilah yang lebih banyak memajukan perusahaan dibanding yang IQ-nya tinggi.
Ada cerita menarik, sebuah Jurnal Bisnis di India menginformasikan, sebuah anak perusahaan Suzuki membuat eksperimen tentang pemasaran. Ia membagi dua eksekutif manajernya; yang pertama diberi kesempatan mendapatkan pelatihan di Jepang dan Amerika, dan, yang menarik, sebagiannya lagi diposisikan pada bagian meditasi, seperti di India sendiri.
Setelah berjalan dua tahun, ternyata produktivitas bagian meditasi ternyata lebih banyak yang berhasil. Kenapa? Karena ia jujur, menganggap pekerjaan yang dilakukan itu adalah ibadah, ikhlas, dan tulus. Sementara yang mendapatkan pelatihan dari Jepang dan Amerika itu, mereka memang adalah orang yang ahli, tapi ia ”jual mahal”, tidak jujur, bekerja semaunya, dan susah diatur. Dan pada akhirnya, tidak berbanding lurus dengan prestasi yang diharapkan oleh perusahaannya.
Jadi The Power of We ini sangat penting, karena tidak mungkin kita bisa mengubah sesuatu sebelum dimulai dari diri sendiri, ibda’ bi nafsika. Di dalam al-Quran, 90% ayat-ayat hukumnya membicarakan tentang pembangunan individu dan keluarga, sedang yang lainnya bisa dihitung jari, seperti persoalan negara dan bangsa. Kenapa? Sederhana sekali, bahwa tidak mungkin menciptakan bangsa dan negara yang berhasil dan produktif jika dibangun di atas rumah tangga yang berantakan dan individu yang rusak. Jika individu kuat, maka keluarga akan hebat, dan jika keluarga baik, maka secara otomatis akan mudah menciptakan masyarakat yang ideal. Kalau masyarakatnya kuat, otomatis pula negara akan solid dan kuat pula. Wallahu a'lam.
Sumber :
Ditranskrip dari Ceramah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Rabu, 07 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar