Grow with Character! (82/100) Series by Hermawan Kartajaya
Semoga Papa dan Mama Saya Melihat dari Surga!
TAHUN 2003, lima tahun setelah krisis ekonomi Asia, MarkPlus sudah ''balik'' lagi. Bahkan, lebih pesat jika dibandingkan dengan sebelum krisis.
Setelah punya kantor di lima kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan, saya mulai ''keliling'' ke berbagai negara tetangga. Dengan modal tiga buku internasional bersama Philip Kotler, saya pun makin ''pede'' bicara di mancanegara. Undangan untuk bicara pun mengalir dengan sendirinya.
Salah satu pengalaman yang mengesankan adalah mengajar di MBA di St. Gallen Business School (kini bernama University of St. Gallen), sekolah bisnis di Kota St. Gallen yang dinobatkan sebagai top business school di Eropa versi majalah mingguan bisnis dari Jerman, Wirtschaftswoche.
Di kota kecil tapi indah itu, saya diundang untuk mengajar marketing selama seminggu setiap tahun selama dua kali. Dalam seminggu, menghabiskan kuliah setahun.
Jadi, setiap tahun saya terbang ke Zurich dulu, kemudian naik kereta selama satu jam dari lapangan terbang Zurich menuju St. Gallen. Mahasiswanya datang dari berbagai negara Eropa dan dari berbagai disiplin S-1.
Di sana, saya baru tahu bahwa orang Swiss itu ''halus'' seperti orang Jawa. Semua mahasiswanya yang sudah profesional selalu hormat kepada dosen. Kalau bertanya, mereka sopan sekali.
Sangat berbeda dibandingkan ketika saya menjadi dosen tamu di University of Michigan, AS, atau University of Western Australia.
Karena sudah dikenalkan oleh administrasi sekolah, saya dapat banyak tawaran untuk ''makan malam'' saat mengajar. Mungkin mereka berpikir, saya bisa memberi nilai A! Padahal, saya tidak mau koreksi, cuma mau mengajar. Paling malas mengoreksi karena memakan terlalu banyak waktu.
Tapi, kalau mengajar, saya suka sekali. Sebab, saya selalu bisa ''belajar'' dari mereka. Bagi saya, ''mengajar tanpa belajar'' adalah rugi besar! Jika saya saja yang ''dikuras'', tetapi tidak mendapat apa-apa, rugi kan?
Saya belajar seperti itu dari Philip Kotler yang selalu membawa kertas kecil di kantongnya. Setiap bertemu orang, dia selalu bertanya dan mencatat. Memang beda perilaku ''the real mahaguru'' dengan ''pakar dadakan''.
Nah, di St. Gallen saya selalu mengajar pakai buku teks klasik Philip Kotler dulu, baru memperkenalkan model SME saya. Mereka protes.
Mereka bilang, mestinya lebih enak memakai model saya yang sederhana itu lebih dahulu supaya mereka dapat ''frame''-nya lebih dulu. Baru detailnya bisa dilihat di buku teks klasik Philip Kotler. Selain itu, saya menemukan bahwa mereka pada dasarnya juga ''tidak percaya pada marketing''. Lebih baik kasih diskon karena orang akan langsung beli, kata mereka!
Dulu, saya berpikir, hanya orang Indonesia atau Asia yang berpikir begitu. Tapi, ternyata di negara paling kaya sekalipun sama. Saya hanya ganti tanya kepada mereka apa restoran favorit mereka.
Apakah mereka ke sana karena harga?
Apa salon favorit mereka?
Apakah ke sana karena harga?
Apa pula bengkel mobil favorit mereka?
Apakah memilih bengkel itu karena termurah?
Ternyata, jawabannya enggak. Nah, aneh kan? Ketika menjadi customer, mereka tidak memilih yang paling murah. Tetapi, waktu jadi marketer, ketakutan kalau tidak memberikan harga murah!
Di Indonesia, saya juga memakai cara seperti itu untuk ''menangkal'' ketidakpercayaan orang atas pentingnya marketing. Supaya bisanya tidak hanya ''banting harga''. Percayalah bahwa nobody wins in the price war!
Pengalaman mengajar di Eropa dan menjadi dosen tamu di Asia, Amerika, dan Australia itu, bagi saya, merupakan kesenangan tersendiri. Dulu, saya tidak pernah menyangka bahwa dari Surabaya saya bisa mengajar kayak ''Confucius Modern'' ke mana-mana.
Kalau saja Papa saya masih hidup, pasti dia yang paling senang. Saya masih ingat betapa tekun dia menyiapkan saya selagi kami masih tinggal di Kampung Kapasari Gang 5 No 1 Surabaya.
Setap malam dia memeriksa kotak alat tulis saya dan meruncingkan potlot saya. Dia suka mengganti setip karet saya yang sudah tipis. Dia juga selalu mengisi pen saya dengan tinta tulis ketika bolpoin belum populer.
Ada lagi kalimat Papa saya yang tidak mungkin saya lupakan dan selalu membuat saya menangis setiap mengingatnya.
''Kita ini orang miskin, tinggal di kampung. Papa tidak bisa korupsi. Hanya bisa kerja keras dan menyekolahkan kamu sampai pintar. Kalau sudah pintar, jangan lupa mengajar kepada orang lain. Jadilah Guru kayak Confucius yang mengajar ke mana-mana.''
Ketika Papa saya masih hidup, saya memang sudah mengajar. Yakni, mengajar matematika dan fisika di SMP dan SMA Sasana Bhakti di Jalan Jagalan 132-136, Surabaya. Bahkan, juga pernah mengajar ''berhitung'' di SD, khusus untuk persiapan ujian nasional waktu itu.
Sayangnya, Papa saya tidak sempat melihat ketika anaknya sudah mengajar ke mana-mana, seperti pesannya sebelum meninggal. Dia juga tidak sempat melihat bagaimana saya pada 2003 juga mendapatkan dua hal yang dulu sulit terbayangkan.
Pertama, diangkat teman-teman di APMF (Asia Pacific Marketing Federation) untuk mewakili mereka menjadi President of World Marketing Association menggantikan AMA atau American Marketing Association.
Pesaing saya hanya wakil dari Thailand ketika itu. Tetapi, saya mendapatkan mandat tersebut secara aklamasi mengingat bagaimana saya ''menyelamatkan'' APMF di masa krisis dulu.
Pada 2003 itu, secara terkejut saya juga menerima kabar masuk ''50 Gurus who Have Shaped the Future of Marketing'' versi majalah resmi The Chartered Institute of Marketing, United Kingdom (CIM-UK). Itu adalah organisasi marketing terbesar di dunia dan terkenal ''sangat konservatif''.
Karena itu, saya hampir tidak percaya melihat majalah resmi tersebut. Selama dua tahun daftar nama 50 guru itu juga ada di web CIM-UK. Syukur, alhamdulillah. Saya dan Kehnichi Ohmae adalah dua orang Asia yang masuk daftar tersebut. Ada Philip Kotler, Michael Porter, dan sebagainya!
Saat saya terbang ke London, saya dijamu makan siang secara resmi oleh pengurus CIM-UK. Mereka hanya mengatakan: ''You deserve more than this!'' Sepertinya, mereka mengikuti perkembangan model marketing yang saya kembangkan dari versi pertama sampai ketiga. Mereka juga teliti memperhatikan tiga buku saya bersama Philip Kotler. Mereka tahu bahwa sayalah yang ada di belakang semua buku itu.
Ah, kalau Papa masih hidup, betapa bahagia dia!
Begitu juga Mama saya yang tidak terlalu mau ikut urusan sekolah saya, tetapi selalu membantu Papa saya yang gaji pegawai negerinya hanya cukup untuk hidup sepuluh hari. Kalau saja Mama masih ada, dia pasti tersenyum bahagia.
Mudah-mudahan mereka berdua melihat semua ini dari surga!
Semua ini akan saya ceritakan secara gamblang pada MarkPlus Festival di sesi Lecture of the Decade pada 1 Mei.
Senin, 12 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar