Rabu, 01 Juli 2009

Dahlan Iskan on “Cassano oh Cassano”

Dahlan Iskan on “Cassano oh Cassano”
November 19th, 2008
Artikel bagus yg ditulis Dahlan Iskan, Bos Jawa Pos Group. Ijin Copas ya Pak.
Dari Pertemuan Puncak Washington DC
INDOPOS/ 17-11-2008.

Kalau harus dibuat daftar orang yang paling disalahkan sebagai
penyebab krisis global sekarang ini, semua akan sepakat memasukkan
nama ini: Joseph J. Cassano. Dialah yang harus berada di urutan
pertama daftar itu. Cassano-lah pencipta apa yang disebut credit
default swaps (CDS) -izinkan saya menerjemahkannya
dengan “perlindungan terhadap kredit gagal bayar”, satu istilah yang
sebelum terjadi krisis ini masih sangat langka di Indonesia.

Bahkan, kalau banyak analis mengatakan Eropa-lah yang akan menjadi
korban terparah sebagai dampak krisis ini, kaitannya juga dengan CDS
itu. Nama Cassano amat top di Eropa dalam pengertian yang negatif.
Cassano memang orang New York, tapi berkantor di London, Inggris.
Hebatnya, kantor pusatnya di New York sangat bergantung padanya.
Bahkan, ada yang menggambarkan, kantor pusat AIG (American
International Group), perusahaan asuransi terbesar di dunia di New
York itu sudah bertekuk lutut pada anak perusahaannya atau unit
usahanya di London yang di bawah komando Cassano ini.

Cassanolah yang membuat AIG runtuh dan memaksa pemerintah Amerika
Serikat mengambil alih 85 persen saham AIG dengan cara menyuntikkan
dana ke AIG USD 85 miliar, hampir sama dengan nilai seluruh APBN
kita.
Cerita kehebatan Cassano itu kira-kira begini: Pada 1990-an bank-
bank di Eropa umumnya kelebihan dana. Artinya, terlalu banyak uang
deposito milik masyarakat yang ditaruh di bank-bank Eropa. Orang
Eropa memang lebih konservatif. Tidak terlalu senang spekulasi
bermain saham. Ini berarti bank harus membayar bunga deposito kepada
masyarakat terlalu banyak. Maka, bank-bank Eropa mencari akal sekuat
tenaga untuk memutar uang tersebut agar bisa menghasilkan bunga
lebih besar.
Cassano mengetahui itu. Di sisi lain Cassano juga tahu lembaga-
lembaga keuangan di AS lagi kesulitan dana karena banyaknya kredit
perumahan yang macet (subprime mortgage). Apalagi, tingkat
kesenangan masyarakat Amerika Serikat menabung sangatlah kecil.
Orang AS dikenal suka belanja (dan dianggap inilah yang membuat
ekonomi AS bergairah) membuat tingkat tabungan masyarakat AS
termasuk yang paling rendah di dunia: rata-rata hanya 2 persen dari
pendapatan. Terlalu banyak orang yang hidupnya bergantung pada kartu
kredit. Artinya, keuangan masyarakat sering defisit per bulan.
Bank-bank Eropa melihat situasi di AS itu seperti menghadapi madu
dan racun. Apalagi, jaringan Cassano sangat agresif menggoda mereka.
Di satu pihak bank-bank Eropa sangat ingin menyalurkan kelebihan
dananya ke sana karena iming-iming suku bunga yang sangat
menggiurkan. Di lain pihak bank-bank Eropa itu takut lantaran agunan
yang diterima adalah rumah-rumah yang berasal dari sitaan kredit
macet. Padahal, harga rumah-rumah itu sudah jauh lebih rendah
daripada nilai kredit yang macet.
Yang paling ditakutkan bank-bank Eropa adalah: jangan sampai
melanggar aturan bank internasional yang disebut Basel II, terutama
menyangkut kecukupan modal. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap
memberikan kredit, bank harus meningkatkan modal yang disimpan di
penjaminan. Semakin kurang berkualitas kredit itu semakin tinggi
nilai modal penjaminannya. Bank-bank di Eropa tahu kalau sampai
mereka memberikan kredit yang dikaitkan dengan subprime mortgage,
konsekuensi permodalannya sangat berat.
Di saat seperti itulah Cassano datang dengan resep yang dianggap
bisa membersihkan racun dari madu. Bank-bank Eropa bisa menikmati
bunga tinggi yang ditawarkan Cassano tanpa harus meneguk racunnya.
Yakni, menggunakan resep bikinan Cassano yang disebut credit default
swaps (CDS) tadi. Bank-bank Eropa bisa meminjamkan uang kepada
lembaga-lembaga keuangan besar di AS seperti Lehman Brothers,
Goldman Sachs, dan seterusnya dengan swaps atau jaminan atau
perlindungan dari AIG.
Dengan resep dari Cassano ini, bank-bank Eropa bisa berkelit dari
kewajiban penyetor modal penjaminan tambahan seperti yang diatur
dalam Basel II. Untuk itu bank-bank Eropa memang harus membayar fee
yang besar kepada AIG. Sebagai bandingan, kalau untuk fasilitas
credit equity swaps (CES) fee-nya maksimum hanya 100 basis poin,
untuk DCS ini AIG minta fee sampai 500 basis poin.
Meski harus membayar fee kepada AIG yang sangat besar, bank-bank
Eropa merasa aman. Pertama, bunga yang didapat masih jauh lebih
besar. Kedua, kalau toh kredit itu gagal dibayar balik, AIG-nya
Cassano menjamin pembayarannya. Dan, yang penting, meski bank-bank
Eropa memberikan kredit kepada lembaga keuangan yang jaminannya
adalah kredit-kredit gagal bayar seperti yang berasal dari subprime
mortgage, itu tidak dianggap melanggar Basel II.
Mengapa? Karena kredit-kredit gagal bayar itu sudah dimasukkan dalam
paket-paket dengan kemasan bagus. Meski isinya busuk, bungkusnya
indah dan menggoda. Apalagi, yang membungkus itu perusahaan-
perusahaan dengan reputasi kelas satu: ratingnya AAA. Sangat
tepercaya. Siapa yang tidak percaya Lehman Brothers dan sebangsanya
itu. Semua ratingnya AAA. Sebuah rating tertinggi.
Di Indonesia perusahaan yang ratingnya AAA tidak banyak (Misalnya,
PT HM Sampoerna, PT Telkom, Bank Danamon, Bank Rakyat Indonesia, dan
PT Summit Oto Finance, Red). Jawa Pos dua tahun lalu ratingnya hanya
A- (A minus), dan baru tahun lalu jadi A. Masih harus bekerja keras
lagi untuk bisa menjadi ke A+, lalu AA-, AA, AA+. Entah berapa puluh
tahun lagi bisa jadi AAA. Entah kerja keras seperti apa lagi untuk
bisa mencapai itu.
Bahkan, negara Indonesia, yang tidak pernah gagal bayar utang, yang
selalu tumbuh dengan baik, yang pengelolaan keuangannya dipuji bank
dunia, yang meski secara politik masih sering ribut namun terbukti
tetap stabil, hanya diberi rating B. Belum BB atau BBB. Masih jauh
dari rating A, apalagi AA atau AAA.
Padahal, perusahaan-perusahaan yang membungkus jaminan-jaminan gagal
bayar itu semua ratingnya AAA. Yang menjual bungkusan-bungkusan itu,
AIG-nya Cassano, ratingnya juga AAA. Laporan keuangannya menunjukkan
kemajuan yang pesatnya bukan main. Labanya juga selangit. Maka bank-
bank Eropa menganggap kredit yang diberikan kepada Lehman Brothers
dan lain-lain itu sangat aman. Karena itu, ketika “membeli”
bungkusan-bungkusan cantik tersebut, bank-bank Eropa tidak
diwajibkan menambah modal penjaminan seperti yang diharuskan Basel
II.
Transaksi “bungkusan pepes kosong” CDS itu mencapai USD 562 miliar!
Atau sekitar Rp 70.000.000.000.000.000. Bukan semua uangnya berasal
dari bank-bank Eropa, namun terlalu banyak yang berasal dari Eropa.
Itulah sebabnya, dalam pertemuan puncak 20 kepala negara di
Washington kemarin, Eropa ingin sekali “menghukum” AS. Yakni, dengan
cara menetapkan persyaratan-persyaratan baru bagi perusahaan
keuangan yang ingin melakukan bisnis keuangan dengan model yang
rumit-rumit seperti itu.
Semangat tinggi Eropa untuk menghukum AS dengan sangat keras itulah
yang diwaspadai Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus
berkoordinasi dengan tim delegasi untuk membicarakan soal yang rumit
ini: jangan sampai tujuan yang sebenarnya untuk menghukum AS itu
negara seperti Indonesia ikut jadi narapidana.
Presiden harus “berkelahi” dengan caranya sendiri untuk menghindari
itu. Sebab, kalau Indonesia juga harus mengikuti persyaratan baru
kelak secara ketat, bisa-bisa Indonesia -yang tidak tahu apa-apa
mengenai penyebab krisis- langsung masuk penjara dan mati di
dalamnya. Inilah salah satu misi presiden yang berhasil dari
pertemuan puncak ini.
Lembaga-lembaga keuangan dunia yang akan melakukan transaksi, kelak,
harus memenuhi lebih dari 50 persyaratan. Mulai transparansi,
pengawasan, pengambilan risiko sampai penegakan aturan, sampai
persyaratan ratingnya.
Kelak, kira-kira, kalau semua berhasil dirumuskan, gambarannya
begini: ada 50 atau 70 peraturan. Perusahaan keuangan yang akan
melakukan bisnis dengan tingkat kerumitan 10, harus memenuhi semua
persyaratan itu. Tapi, lembaga keuangan yang hanya melakukan bisnis
dengan tingkat kerumitan 5, hanya perlu memenuhi syarat separo dari
yang ditetapkan itu. Semakin rendah tingkat keruwetan bisnisnya,
semakin sedikit persyaratan yang harus dipenuhi.
Presiden SBY sangat lega karena nada memberlakukan semua persyaratan
untuk semua negara bisa dihindari. Kalau saja, misalnya, Indonesia
juga harus memenuhi seluruh persyaratan itu, semua bank di Indonesia
akan langsung tidak bisa berusaha. Padahal, kondisi bank di
Indonesia saat ini sudah sangat prudent. Peruraturan pemerintah
untuk bank di Indonesia juga sudah sangat ketat -terima kasih atas
terjadinya krismon 1998 lalu.
Kalau toh masih ada yang harus diatur lebih ketat adalah lembaga-
lembaga keuangan non-bank. Ini pun khusus menyangkut yang
kepemilikannya satu grup dengan perusahaan yang merestrukturisasi
keuangan. Sebab, grup-grup usaha di Indonesia juga memiliki lembaga
keuangan nonbank, yang bisa saja menjadi lubang kelemahan. Misalnya,
lembaga keuangannya miliknya sendiri itulah yang diminta mengatur
agar harga sahamnya jauh lebih mahal saat perusahaan itu akan
melakukan go public. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar