Grow with Character! (56/100) Series by Hermawan Kartajaya
Ketua Mao dan Deng Xiao Ping
PILAR terakhir atau keempat dari The M House adalah Implementation Pillar. Artinya, pilar pelaksanaan. Bagi saya, percuma saja sebuah perusahaan punya pilar kukuh di value, strategy, dan tactic kalau tidak kukuh waktu pelaksanaan.
Ketua Mao pernah ditanya rahasia suksesnya menyatukan Tiongkok. ''Satu persen inspirasi, sembilan puluh sembilan persen implementasi!'' Malah gak ada konsepnya blas! Karena itu, tidak ada gunanya banyak teori kalau pelaksanaannya gak kuat.
Tapi, Anda juga tidak boleh ''alergi'' pada teori. Sebab, ''langsung'' pada implementasi bisa ngawur! Seperti Ketua Mao juga kan. Setelah sukses dengan long march untuk ''mengusir'' Kuo Min Tang yang lari ke Taiwan, dia kebablasan juga. Tiongkok berada pada titik nadir justru pada waktu Mao memerintah semua orang ''balik ke desa''.
Apalagi ketika Ketua Mao yang begitu pintar lantas ''dikuasai'' Gang of Four yang dipimpin Chiang Ching, istrinya. Untung ada Deng Xiao Ping yang kemudian ''membuka'' Tiongkok kembali pada dunia internasional, sehingga sekarang Tiongkok jadi satu-satunya negara yang paling ditakuti Amerika.
Itu bedanya orang pakai ''konsep'' dan tidak. Mao hanya bermodal ideologi komunisme, sedangkan Deng percaya pada konsep. Deng merumuskan langkah-langkahnya berdasar strategy, tactic, dan value. Tiga pilar utama The M House.
Strateginya adalah memosisikan Tiongkok sebagai negara yang politiknya tetap satu, Partai Komunis, tapi ekonominya dibuka step by step.
Taktiknya adalah mendiferensiasikan Tiongkok sebagai suatu negara yang berpenduduk paling besar di dunia. Kekuatan pasar itulah yang akhirnya ''menarik'' investor untuk masuk ke Tiongkok lewat Sen Zhen sebagai pintu gerbang pertama. Banyak MNC yang bahkan siap rugi sepuluh tahun supaya tidak kehilangan kesempatan pada pasar yang begitu besar. Value-nya?
Deng punya strategi branding yang luar biasa! Tiongkok adalah negara yang punya tingkat civilization yang tinggi dan sudah ribuan tahun. Itu pula yang membuat brand Tiongkok akhirnya punya daya tarik luar biasa. Bukan hanya pada pengusaha, tapi juga pada para turis yang kepingin tahu ''rahasia'' di balik China Wall itu!
Sementara itu, Mao hanya mengandalkan ideologi yang harus dianut secara fanatik, sehingga akhirnya malah membawa rakyat jadi ''buta'' pada perubahan. Karena itu, konsep tetap perlu. Khususnya kalau Anda mau sustainable, tidak hanya mau ''jangka pendek'' saja.
Prinsip implementasi terdiri atas tiga. Pertama adalah prinsip keenam belas, yaitu principle of totality. Balance your strategy, tactic, and value. Artinya, sembilan elemen yang ada di ketiga hal tersebut harus ''dijaga'' keharmonisannya. Karena perubahan competitive landscape berlangsung terus, segmentation, targeting, dan positioning sebagai tiga elemen strategy mesti di-review lagi.
Mungkin cara kita melihat pasar sudah tidak relevan dengan peta persaingan yang lebih dinamis. Kalau STP diubah, DMS pun harus dipikir ulang. Bisa-bisa differentiation, marketing mix, dan cara selling sebagai tactic kita sudah tidak relevan. Akhirnya, BSP atau brand, service, dan process di value pun harus diubah juga, barangkali. Pokoknya, harus ada total balance!
Prinsip kedua dari Pilar Implementasi atau prinsip ketujuh belas adalah Principle of Agility. Integrate your what, why, and how. To be Agile. Artinya, sebuah perusahaan bukan hanya tidak boleh ''pasif'', tapi juga ''trengginas''.
Bagaimana menjadi perusahaan yang bukan sekadar change agent, tapi bahkan jadi change surpriser. Artinya, kalau Anda bisa terus menanyakan why pada diri Anda sendiri tentang what yang akan dikerjakan selanjutnya, Anda akan bisa selalu dinamis. Trengginas berarti Anda tidak pernah berhenti mencari alasan baru untuk berubah terus-menerus. Itu sejalan dengan konsep learning organization dari Peter Senge. Kita mesti belajar terus dari how yang dilakukan untuk me-review why dan what.
Prinsip terakhir adalah prinsip kedelapan belas, yaitu Principle of Utility. Integrate your Present, Future, and Gap. Prinsip itu selalu mengingatkan kita untuk mengenali gap antara yang kita lakukan sekarang dengan yang dibutuhkan pada masa mendatang. Dengan demikian, aktivitas kita tidak hanya fokus pada current situation, tapi mengacu untuk suatu tujuan pada masa mendatang. Kalau enggak, kita akan mandek dan aktivitas kita akan malah menghambat perubahan tersebut.
Itulah ''lonceng kematian'' bagi perusahaan. Kenapa? Ya karena perubahan jalan terus, sedangkan kita tidak berubah apa-apa. Di dalam MarkPlus Festival 1 Mei 2010 dalam rangka HUT ke-20 ini, saya memperkirakan akan ada dua ribu orang yang suka pada perubahan.
Pada sesi terakhir, selama dua jam penuh saya akan menguraikan perubahan Konsep Marketing dari yang ''klasik'' ke legacy sampai ke new wave. Anda siap mengadopsi perubahan ini? Ketua Mao tidak siap, Deng Xiao Ping sangat siap dan menerima hal tersebut. (*)
Rabu, 17 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar