Kamis, 22 April 2010

Dakwah vs Menakut-nakuti


Dakwah vs Menakut-nakuti
Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri

Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu menelpon. Dengan nada khawatir, dia melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya.

Keluhnya antara lain,“Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya sebangsa yang mereka anggap kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di kampung, Gus, sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri. Mereka dengan semangat jihad, memaksakan pahamnya ke masyarakat. Sasarannya jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, na’udzu billah, Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus. NU dan Muhammadiyah kok diam saja ya?”

Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu-satunya laporan yang saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap perilaku keberagamaan yang keras model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb. Cirinya yang menonjol : sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam. Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.

Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara kasar.

روى البخاري عن أنس رضي الله عنه قال: لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم سبابا ولا لماما ولا فاحشا
Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan bukan orang yang kasar.

وروى الترمذي عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاحشا ولا متفاحشا ولا صخابا في الأسواق
Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji, dan tidak suka berteriak-teriak di pasar.

Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di Q. 3: 159, “Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika …” , Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai panutan lain dengan doktrin lain.

Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).

Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan budi pekerti. Karena itu, Rasulullah SAW sendiri budi pekertinya sangat luhur (Q. 68: 4). Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan pelaksanaan perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!). Bagaimana orang tertarik dengan agama yang dai-dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi?

Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang curiga, jangan-jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau tidak, bagaimana ada orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa membedakan antara dakwah yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang membuat orang lari. Bagaimana mengajak orang mengikuti Rasulullah SAW dengan sikap dan kelakuan yang berlawanan dengan sikap dan perilaku Rasulullah SAW?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar