Selasa, 06 April 2010

Y = C + G + I + (X - M), Rumus Tidak ''Gagap Makro''!

Grow with Character! (73/100) Series by Hermawan Kartajaya
Y = C + G + I + (X - M), Rumus Tidak ''Gagap Makro''!

GARA-GARA buku Repositioning Asia, saya jadi dapat undangan bicara di mana-mana. Buku itu juga menarik banyak perhatian berbagai kalangan. Sebab, memang unik! Membahas krisis ekonomi yang ''makro'' dari kacamata marketing yang ''mikro''.

Prof Lim Cong Yah yang begawan ekonomi dari Nanyang Technological University (NTU) juga membeli dan membaca buku itu. Prof Lim adalah besan Lee Kuan Yew dan merupakan profesor senior untuk ilmu ekonomi di Singapura. Dia sudah menjadi penasihat pemerintah di beberapa negara di luar Singapura. Dia juga dekat dengan para begawan ekonomi Indonesia.

Berkat Prof Hooi Den Huan dari NTU juga yang saya kenal lewat Marketing Institute of Singapore (MIS), saya jadi tambah dekat dengan Prof Lim. Karena itulah, setiap kali saya datang dan mengajar di NTU, saya punya kesempatan berbincang dengan beliau. Bukan setiap kali ketemunya, tapi setiap bertemu saya selalu belajar makro dari Prof Lim.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa orang marketing yang tidak ngerti ''makro'' akan susah. Philip Kotler juga economist by training kan. Apalagi, krisis Asia yang begitu hebat membuktikan bahwa marketing yang normal gak bisa jalan pada waktu makronya runtuh. Tapi, siapa yang bisa membaca situasi makro lebih baik, dia punya kesempatan untuk membuat strategi marketing lebih tepat pada waktunya!

Karena itu pula, saya minta kepada Stephanie Hermawan, adik Mike, untuk sekolah makro aja. Setelah menyelesaikan St Stevens High School selama empat tahun di Austin, Stephanie akhirnya masuk University of Michigan. Walaupun, dia diterima juga di NYU!

Di Michigan, setiap kali berkunjung, saya berusaha menemui Prof Linda Lim. Dia adalah ekonom makro lagi, yang waktu itu adalah direktur ASEAN Center di sana. Dia juga dekat dengan anak-anak Indonesia yang lagi kuliah di sana.

Karena bergaul dengan berbagai ekonom itu, termasuk dengan Stephanie yang menyelesaikan bachelor-nya dalam waktu tiga tahun, saya jadi semakin sadar. Bahwa, ada hubungan yang erat antara marketing dan ekonomi.

Pertama, orang marketing yang meng-create value dari tiap-tiap perusahaan yang sering disebut pelaku ekonomi. Sedangkan orang ekonomi makro yang menghitungnya secara agregat.

Kedua, orang ekonomi makro juga bisa melakukan analisis dari hasil penciptaan nilai itu dan kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijakan apa yang harus diambil. Tujuannya, kebijakan itu bisa menciptakan nilai secara maksimal.

Ketiga, buat saya yang orang marketing, saya merasa harus mengerti ekonomi makro secara global saja. Ada empat elemen di penciptaan economic growth suatu negara.

Y = C + G + I + (X - M)!

Ini rumusnya.

Artinya?

Y sama dengan pertumbuhan ekonomi yang bisa diciptakan lewat C (konsumsi), G (belanja pemerintah), I (investasi), X-M (net export). Indonesia diuntungkan karena punya penduduk yang banyak. Karena itu, C selalu jadi ''katup'' penyelamat perekonomian.

Pada 1998, hal itu tidak terjadi karena orang pada tidak mau membeli sesuatu yang tidak basic. Semua orang lagi tidak menentu tentang masa depan Indonesia. Langit kayaknya mau runtuh. Karena itu, semua orang menyimpan uangnya erat-erat. Beli emas karena likuid dan gampang dicairkan. Atau, dilarikan ke luar Indonesia.

Pinjaman bank yang biasanya bisa membantu orang beli secara cicilan tidak jalan karena bunga terlalu tinggi. Bisa sampai 80 persen per tahun! Nah, karena ''mesin pertama'' mati, Indonesia langsung mengalami pertumbuhan negatif 13 persen waktu itu.

Tapi, pada krisis global 2008 lalu, konsumsi boleh dikatakan tidak terlalu terpengaruh. Sebab, consumer confidence tetap tinggi dan inflasi secara umum bisa dijaga dengan ketat. Begitu juga yang terjadi pada India dan Tiongkok yang punya banyak penduduk.

Amerika dan Jepang yang orangnya kaya lagi terbelit utang dan rasa kurang percaya terhadap masa depan perekonomian mereka sendiri. Karena itu, mesin pertama stagnan dan bahkan di Jepang terjadi deflasi karena orang malas beli barang.

Singapura setengah mati ya karena jumlah penduduknya sedikit,walaupun kaya. Apalagi, mereka ''kiashu'' atau takut rugi. Jadi, begitu ekonomi dunia mulai turun, mereka pun ngirit. Mesin kedua adalah pemerintah yang bertugas membelanjakan bujet, baik untuk yang rutin atau yang diarahkan untuk pembangunan.

Waktu krisis, C biasanya turun. Karena itu, G harus diperbesar untuk kompensasi. Tapi, kalau perekonomian yang sudah terbuka, porsi G terhadap C kecil karena yang menciptakan ekonomi semestinya pihak swasta, bukan pemerintah. Tapi, pemerintah memang harus menciptakan infrastruktur supaya swasta mau melakukan kegiatan ekonomi.

Saat krisis, pemerintah yang tidak punya cadangan devisa banyak bisa repot. Defisit pengeluaran yang terlalu besar juga akan merepotkan. Mau bikin obligasi negara, terpaksa bunganya mahal. Kecuali dapat bantuan pinjaman lunak dari internasional, tapi biasanya dengan syarat-syarat politik.

Pada zaman krisis 1998, Indonesia terpaksa minta bantuan IMF, tapi diminta memperketat uang, sehingga konsumsi dan investasi tambah macet! Hasilnya lebih parah. Saat krisis global 2008, Tiongkok punya posisi paling kuat di dunia. Sebab, cadangan devisanya sangat kuat, sehingga punya bargaining terhadap negara lain. Pemerintah bisa memberikan BLT dan bantuan lain kepada rakyat untuk mendongkrak C.

Selain itu, G tetap diperbesar dengan membangun infrastruktur gila-gilaan. Indonesia pada 2008 not bad karena punya cadangan devisa yang tidak terlalu besar, tapi cukup. Defisit juga, tapi tidak sebesar Amerika dan Eropa yang sampai dua digit. Godaan terbesar untuk menutup defisit yang terlalu besar adalah cetak uang yang akan menimbulkan inflasi dan menurunkan C!

Mesin ketiga adalah investasi. Bisa dalam bentuk investasi langsung atau portofolio. Semakin orang confident terhadap perekonomian, semakin besar minat investasi. Kalau hanya investasi di pasar saham, bisa jadi hot money. Gampang masuk, gampang keluar! Indeks bursa bisa naik turun kayak roller coaster karena gampang diterpa rumor.

Sementara itu, penanaman modal langsung, baik dari luar maupun dalam, akan lebih stabil karena sekali inves harus jangka panjang. Saat krisis, I biasanya turun karena sebagian besar orang stop dulu dan wait and see. Atau, menarik ke luar modalnya!

Mesin keempat adalah net export yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Tiongkok saat ini dicap sebagai negara merkantilis murni karena sangat percaya akan mesin keempat ini. Pemerintahnya melakukan apa pun, termasuk menjaga yen lemah serta memberi insentif terselubung dan bantuan untuk ekspor kepada pengusahanya. Karena itu, seluruh dunia sekarang dibanjiri made in China.

Indonesia, sayangnya, masih banyak menghasilkan ekspor komoditas dan barang tambang yang nilai tambahnya tidak besar. Sementara itu, impornya kebanyakan branded good, branded service, atau branded commodity. Karena itu, surplus perdagangan luar negeri kita tidak bisa besar.

Nah, hanya bermodal rumus ekonomi yang simpel seperti itu, saya mencoba memahami situasi makro. Dengan demikian, kita tidak terlalu ''gapkro'' atau ''gagap makro''! Dengan melakukan analisis sederhana dan disertai update terus-menerus tentang perubahan yang cepat di dunia gara-gara internet, saya merasa lebih confident ketika menggunakan marketing untuk bikin strategi.

Ingat lho, perusahaan kita saat ini, seberapa pun besarnya, hanya seperti sebuah kapal kecil di samudera besar! Karena itu, seorang nakhoda kapal (marketer) harus bisa menganalisis situasi cuaca (makro). Gak usah yang ruwet, yang simpel aja, tapi bisa kasih gambaran! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar