Rabu, 07 April 2010

KETIKA RASUL WAFAT

KETIKA RASUL WAFAT
Sesungguhnya engkau (Muhamamd) akan mati dan mereka pun (lawan-lawanmu) juga bakal mati” (QS. az-Zumar 39:30). Dibalik peristiwa wafat Beliau, ada pelajaran yang berharga.

Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka pun (lawan-lawanmu) juga bakal mati” (QS. az-Zumar 39:30).



“Kami tidak menjadikan bagi seorang sebelummu kekekalan (hidup di bumi), maka jikalau engkau mati, apakah mereka (lawan-lawanmu itu) akan hidup kekal?” (QS. al-Anbiyâ’ 21:34).



Beberapa hari lagi tersisa dari bulan Shafar tahun 11 H – dua atau empat hari dalam riwayat lain – Rasul saw. merasa terganggu kesehatannya, kepala beliau sangat berat. Ketika itu beliau berada di rumah istri beliau Maimunah. Setiap hari beliau berpindah dari rumah ke rumah istri yang lain. Atau tepatnya kamar demi kamar yang ketika itu berjumlah sembilan kamar berdampingan, dan berlokasi di areal Mesjid Nabawi di Madinah.



Tetapi setelah beberapa hari berlanjut, dan penyakit makin terasa parah, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk merelakan giliran mereka sehingga beliau dapat dirawat di satu tempat yakni di kamar Aisyah ra.



Dalam keadaan sakit parah itu, beliau menyampaikan pesan. Antara lain, tidak membolehkan adanya dua agama di Jazirah Arabia. “Jangan izinkan kaum musyrik bermukim di sana, dan perhatikanlah shalat serta berbaik-baiklah kepada kaum lemah”. Demikian lebih kurang pesan beliau.

Penyakit yang beliau derita semakin parah, kendati demikian beliau tetap memimpin shalat. Namun di satu malam beliau benar-benar tak mampu. Beliau bertanya: “Apakah shalat (yakni Isya) telah dilaksanakan?” “Belum – wahai Rasul, mereka menantimu.” Maka beliau meminta air sepenuh ember, lalu beliau mandi lalu dengan langkah berat menuju ke Mesjid yang berada di samping kamar. Tetapi beliau tak kuasa dan jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian beliau sadar dan bertanya: “Apakah shalat telah dilaksanakan?” Sekali lagi dijawab: “Belum, mereka masih menantimu.” Maka untuk kedua kalinya beliau meminta air lalu mandi, tetapi seperti keadaan pertama, beliau sekali lagi tak sadarkan diri. Kemudian setelah sadar dan mengetahui bahwa shalat belum juga dilaksanakan karena kaum muslimin menanti beliau, maka beliau memerintahkan memanggil Sayyidina Abu Bakar lalu menyuruhnya memimpin shalat. Pada mulanya Abu Bakar ra. merasa berat memikul tugas itu, tetapi akhirnya diterimanya juga. Hari Kamis, begitu tutur Ibnu ‘Abbâs – yakni pada tanggal 8 Rabiul Awal – keadaan Rasul semakin parah. Beberapa orang berada di keliling kamar beliau. Lalu tiba-tiba beliau meminta kertas. “Saya akan menulis untuk kamu sekalian pesan yang kamu tidak akan tersesat sesudahnya (selama konsisten mengikuti pesan itu). Umar ra. yang berada di antara hadirin, iba melihat keadaan Rasul, beliau berkata: “Kasihan, penyakit beliau sudah sedemikian parah. Kita memiliki al-Qur’an cukuplah itu sebagai pegangan.” Hadirin berbeda pendapat, ada yang mengiyakan Umar ra., ada juga yang berkeras memenuhi permintaan Nabi saw. Mendengar suara bising pertengkaran Nabi bersabda: “Tinggalkanlah Aku.” Sayang – kata Ibnu ‘Abbâs – pertengkaran itu menghalangi Rasulullah menulis pesannya”. Kita tak tahu apa gerangan pesan itu.

Pada hari Minggu 11 Rabi’ul Awal, Rasul saw. merasa telah berangsur baik, maka dari kamar Aisyah beliau keluar menuju ke mesjid dengan selembar sorban yang melilit kepala beliau serta ditopang oleh dua orang – paman beliau al-‘Abbâs dan seorang lagi. Beliau bermaksud melaksanakan shalat Zuhur – riwayat lain menyebut bahwa itu terjadi pada subuh hari Senin 12 Rabiul Awal. Hati kaum muslimin dipenuhi kegembiraan, bahkan hampir saja ada di antara mereka yang membatalkan shalatnya kalau tidak menerima isyarat Nabi agar melanjutkan. Bahkan Abu Bakar yang menjadi imam, mundur untuk mempersilakan Nabi memimpin shalat, tetapi Nabi mendorongnya sambil bersabda: “Pimpinlah jamaah melaksanakan shalat.” Beliau lalu shalat dalam keadaan duduk di samping kanan Sayyidina Abu Bakar ra.

Selesai shalat beliau kembali berbaring ke kamar istri beliau Aisyah ra. Beliau meminta agar di “kompres” karena demam yang beliau derita semakin menjadi-jadi. Beliau juga memasukkan kedua tangannya ke wadah yang penuh air, membasuh wajahnya sambil mengucapkan Lâ Ilâha Illâ Allâh, sungguh maut disertai sakarat.
Aisyah ra. yang menyampaikan penuh haru bercampur bangga bahwa: “Rasulullah saw. menghembuskan nafas terakhir antara dada dan leherku, liur beliau bercampur dengan liurku, karena ketika itu Abdurrahman putra Sayyidina Abu Bakar ra. (saudara Aisyah) berada di kamar sambil bersiwak. Rasul memandang kepadanya – seakan-akan meminta siwak itu. Maka aku memintanya dari Abdurrahman lalu kupotong dan kugigit-gigit (agar lembut). Lalu kuberi Rasulullah saw., maka beliau bersiwak sambil berbaring di dadaku. Aku tidak pernah melihat beliau bersiwak sebagus itu, kemudian beliau mengangkat tangan atau jari telunjuknya lalu berkata: “Menuju ar-Rafîq al-A’lâ (Menuju Teman Yang Teragung, Allah swt.)”.
Sumber :
Disunting dari karya beliau "Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar