Selasa, 23 Maret 2010

Crisis? Take It as A Challenge!

Grow with Character! (62/100) Series by Hermawan Kertajaya
Crisis? Take It as A Challenge!

Tahun 1998, khususnya sesudah Pak Harto "jatuh" dan menyerahkan kepresidenan kepada Habibie, memang benar-benar waktu yang berat! Proses transisi sambil menunggu Pemilu 1999 diwarnai dengan ketidakpastian.

Sementara itu, Presiden Habibie yang "belum siap" waktu itu harus bekerja keras. Meyakinkan TNI bahwa dia memang "layak" jadi presiden, orang Timor Timur mengambil kesempatan untuk merdeka, juga ada anggapan bahwa dia "antibisnis". Macam-macam pokoknya.

Yang menarik, justru pada masa-masa tidak menentu itu, tiap orang atau entrepreneur yang bisa melihat peluang malah akan mendapatkan sesuatu. Yang putus asa dan desperate, apalagi yang ikut jadi "korban" 13-14 Mei, memang jadi pecundang. Beberapa perusahaan saya ingat "bertahan" dengan cukup kreatif.

Sari Ayu merupakan penerima Crisis Award of the Month pertama dari MarkPlus Forum karena tidak mem-PHK karyawan. Ibu Martha Tilaar justru "me-launch" lipstik Sari Ayu dwiwarna! Harganya dalam rupiah memang naik jika dibandingkan dengan yang single color, tapi jauh lebih murah daripada Avon atau Revlon yang harus diimpor dalam US dolar!

Mendadak saja, para profesional muda di kota besar tidak segan untuk membawa lipstik merek Sari Ayu di tasnya. Dulu ogah karena gengsi! Telkomsel adalah penerima Crisis Award kedua karena mengeluarkan prepaid tepat pada waktunya. Pada zaman itu, semua kartu ya postpaid, tidak seperti sekarang yang tinggal sepuluh persen.

Orang merasa "aman" pakai prepaid karena bisa mengontrol pengeluaran. Selain itu, lebih convenient karena tidak perlu lewat pengecekan untuk aplikasi jadi pelanggan postpaid! Padahal, price-nya untuk per unit waktu bicara lebih mahal.

Juga ada perusahaan properti yang jual ruko tiga tingkat "setengah jadi". Artinya terserah kepada pembeli untuk menyelesaikan menurut kemampuan masing-masing. Harganya "miring tapi tidak murah"! Selain itu, ruko memang lebih mudah dijual karena pada zaman krisis, orang mau pakai satu tempat untuk tempat tinggal dan kantor. Saya bersyukur bahwa waktu itu, saya memang sudah tinggal dan berkantor di ruko di Surabaya. Di Jakarta tinggal di ruko, kantor di Wisma Dharmala Sakti, tapi dengan sistem barter dengan advice. Maka, saya bisa bertahan.

Banyak perusahaan media yang memberikan gratis space dan time slot iklannya untuk ''bertahan''. Justru waktu itulah, beberapa perusahaan smart memanfaatkan untuk beriklan secara murah, bahkan gratis! Selagi pesaingnya tidak mau beriklan, mereka malah jadi semakin populer!

Saya sendiri, pada masa krisis, makin gencar nulis di berbagai media di Jakarta mumpung yang lain gak tahu mau nulis apa. Saya justru nulis tentang ''kiat bertahan di masa krisis'' dengan menampilkan contoh perusahaan-perusahaan yang dapat award dari MarkPlus.

Win-win-win! Perusahaan yang ditulis senang, pembaca senang, MarkPlus pun senang! Bahkan, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan model Sembilan Elemen MarkPlus di era krisis! Laris manis! Soalnya, orang lagi cari ''pegangan'' waktu itu. Jadi, ada kesempatan untuk membuat ''pegangan'' tersebut.

Pak Dahlan Iskan menggunakan "kesempatan'' tersebut untuk mengecilkan ukuran Jawa Pos supaya ada cost reduction. Pada waktu Pak Dahlan telepon saya, waktu itu saya katakan, "Ini saatnya untuk melakukan itu". Sebab, pembaca akan memaklumi, apalagi ukuran baby tersebut memang lebih praktis kayak USA Today! "Nanti kalau situasi sudah normal, tidak repot lagi!"

Saya terkesan pada Astra International yang waktu itu dipimpin Pak Teddy Rachmat. Walaupun krisis, mereka tidak mengurangi karyawan. Tapi, mereka meminta pengertian agar karyawan mau "turun gaji". Direksi mengambil inisiatif untuk memotong gaji secara drastis. Makin "ke bawah" makin kecil potongannya. Dengan melakukan hal itu, karyawan tambah "loyal'' di kemudian hari.

MarkPlus sendiri waktu itu hanya punya staf kurang dari 20 orang. Jadi, masih cukup compact dan tidak "kegemukan". Jadi, waktu itu saya bilang pada 1999, tidak ada kenaikan gaji, tapi ada gaji ke-14 atau bonus bulan kedua! Juga tidak ada pengurangan karyawan. Beberapa di antara mereka hingga sekarang sudah jadi "perwira tinggi" di MarkPlus, antara lain, Jacky Mussry, Taufik, Agus Giri, dan Vivi Jericho.

Kepada Ibu Eva Riyanti Hutapea yang waktu itu CEO Indofood, saya katakan, "Inilah saatnya untuk memberikan laporan terburuk," bagi para pemegang saham. Kerugian yang wajar bisa diterima! Nanti kalau sudah normal, situasi lain lagi. Jadi, pada situasi sangat tidak menentu menjelang Pemilu 1999 itu, sebenarnya masih banyak perusahaan yang bisa melakukan creative things untuk mendapatkan loyalitas tiga stakeholder utama. Yakni, customer, people, and shareholder!

Sebagai president Asia Pacific Marketing Federation (APMF) yang baru dilantik di Tokyo pada Juni 1998, saya doing creative things. Membership fee dari semua asosiasi pemasaran nasional saya turunkan. Kemudian, saya berjanji untuk tidak menggunakan sama sekali uang kas! Pada kepemimpinan sebelum saya, ketua yang dari Australia menghabiskan semua kas. Bahkan, ada pembukuannya.

Saya mau buktikan kepada dunia bahwa ketua dari Indonesia yang sedang kena krisis paling hebat bisa menyelamatkan APMF. Ide gila kan! Tapi, justru itulah yang menantang saya! Caranya? Saya minta sponsor dari hotel-hotel di Bali yang lagi sepi.

"Daripada sepi, tolong kasih gratis kepada teman-teman saya dari berbagai negara untuk meeting gratis. Mereka pasti tidak akan lupa hotel Anda!" Wah, ternyata hampir setiap tiga bulan selama dua tahun masa kepemimpinan saya, selalu ada meeting dengan sponsor gonta-ganti.

Saya juga pernah mengadakan satu meeting APMF yang disponsori Pak Joe Kamdani, founder Data Script, di pulau pribadinya di Kepulauan Seribu. Waktu itu, karena pasar lagi lesu, Pak Joe yang sudah bekerja keras berpuluh tahun kayaknya mau sedikit "rilaks" dan "charity". Begitu juga PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang mau mensponsori kereta api gratis dari Jakarta ke Bandung sambil meeting di atas sepur!

Sampai di Bandung, saya juga dapat sponsor lagi untuk hotel. Jadi, selama dua tahun masa paling sulit bagi Asia, yaitu 1998-2000, saya justru membuat acara yang out of the box. Bali, Pulau Seribu, kereta api. Dasarnya balik lagi padawin-win-win bagi semua pihak. Sponsor sudah kadung punya kapasitas terpasang, butuh cara brand building yang murah.

Para pengurus National Association yang merupakan teman-teman saya di Asia Pacific butuh acara kreatif yang ''murah'' karena mereka juga sumpek oleh krisis di negara masing-masing. Saya pun perlu membuktikan jadi presiden di masa krisis yang sukses sekaligus jadi ambassador Indonesia for tourism!

Akhirnya, pada 2000 ketika saya menyerahkan jabatan kepada Khun Suphat dari Marketing Association of Thailand (MAT), benar yang saya janjikan! Pembukuan hanya punya "pemasukan", tanpa "pengeluaran"!

Terima dari Australia di permulaan krisis dengan nol tanpa pembukuan, menyerahkan kepada Thailand dengan saldo USD 20.000 tanpa pengeluaran sesen pun!

Itulah yang akhirnya membuat teman-teman di APMF mendukung saya jadi presiden World Marketing Association (WMA). So... selalu ada marketing yang differentiated pada masa krisis. Yang penting, ketika topan datang, jangan langsung gulung layar. Take it as a challenge! Siapa tahu hal itu justru punya berkah untuk Anda.

Semua itu akan saya ceritakan dengan gamblang di MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010. It will be The Marketing Day for every marketers! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar