Sabtu, 20 Maret 2010

Perlu Kapal Induk di Samudera Besar!

Grow with Character! (58/100) Series by Hermawan Kartajaya
Perlu Kapal Induk di Samudera Besar!

GODAAN untuk tidak fokus dalam bisnis selalu datang. Terutama ketika Anda mulai sukses dalam mengembangkan bisnis pertama. Apalagi, ada beberapa contoh perusahaan besar yang disebut konglomerat. Semua punya mimpi bisa menjadi seperti itu.

Kwik Kian Gie bahkan pernah membuat buku Mimpi Jadi Konglomerat! Di buku itu, Kwik yang sangat nasionalis itu mengkritik habis-habisan konglomerat Indonesia yang masuk di segala bidang. Bukan karena kompetensi, tapi lebih karena KKN! Karena "dekat" dengan pengusaha, makanya dapat privilege macam-macam.

Ini terjadi di zaman Pak Harto dulu. Tapi, Pak Harto juga punya alasan tersendiri. Untuk membangun negara di saat "Orde Baru" yang masih compang-camping, lebih baik, peran untuk membuat komoditas vital diberikan kepada pengusaha yang pasti bisa. Maksudnya bisa itu, punya akses ke luar negeri. Untuk dapat teknologi, modal, dan manajemen.

Karena itulah, Salim Group lantas diberi "tugas" untuk bikin tepung terigu lewat Bogasari, bikin semen lewat Indocement, dan sebagainya. Karena mengandung risiko, logikanya investasi harus "dilindungi" dengan monopoli. Tapi, kemudian yang model begini kan merambat ke mana-mana. Karena itu, waktu Orde Baru, Kwik menyebutnya sebagai bisnis untuk family and friends!

Putra-putri dari Cendana terus ikut "join" bersama teman mereka minta diberi "tugas" dengan "perlindungan". Nah, model yang tadinya "baik" jadi "kebablasan" ketika orang berpikir bahwa KKN is the only way to grow! Tapi, itu kan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Asia, yang kayak begitu terjadi di mana-mana dengan alasan berbeda.

Karena itulah, ketika krisis Asia terjadi pada 1998, orang lantas menuding para konglomerat yang ber-KKN secara "kebablasan" itulah penyebabnya. Nah, menarik kan melihat bagaimana performance para konglomerat itu setelah krisis Asia?

Salim Group setelah melakukan banyak hal, termasuk menyelesaikan utangnya, sekarang saya lihat sudah sehat kembali. Indofood sebagai perusahaan publik bisa bersaing dengan baik dengan brand lain, walaupun ada mi sedap dari Wings Group Surabaya. BCA memang "hilang" dan masuk Djarum Group, tapi Bogasari menjadi sehat juga ketika bersaing secara fair dengan produsen lain, termasuk importer.

Selain itu, Salim sudah menjadi kelompok bisnis regional yang kuat dengan bisnisnya di Australia, Filipina, Tiongkok, dan lain-lain. Tapi, tidak demikian yang terjadi pada bisnis "putra-putri". Walaupun masih relatif besar, mereka kurang bersinar.

Di luar Indonesia, contoh bagus adalah Samsung. Sebelum krisis Asia, Samsung adalah konglomerat yang masuk ke semua bidang dengan KKN di Korea. Sekarang jadi hebat dan "bersinar" ketika hanya fokus di beberapa bidang, terutama di bidang elektronik dari hulu sampai hilir. Brand Samsung bahkan sudah mengalahkan Sony yang dulu sangat perkasa itu!

Siam Cement dari Thailand juga survive setelah krisis Asia. Mereka lebih fokus pada beberapa bidang bisnis, walaupun tetap direstui Raja yang masih sangat powerfull. Beberapa konglomerat yang berafiliasi dengan pemerintah di Malaysia tetap survive asal lebih "fokus". Sedangkan di Singapura, hampir semua Government Link Companies (GLC) seperti Singapore Airlines memang hebat terus.

Jadi, sebenarnya bukan masalah KKN atau tidak. Ada yang dulu dapat KKN, setelah hilang keistimewaannya, bisa berjaya atau habis. Tapi, ada juga yang jelas-jelas dilindungi pemerintah sampai sekarang pun tambah hebat! Kalau mau drastis, banyak orang swasta yang nggak dapat KKN juga ingin merambah ke mana-mana. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal!

GE atau General Electric adalah contoh konglomerat yang "sadar" ketika Jack Welch menjadi CEO. Dia dinobatkan menjadi CEO of the Century untuk abad lalu oleh Time, karena berani lebih fokus. Dari lebih dari seratus perusahaan jadi "hanya" dua belas. If we are not number one or number two, it is better to fix, close or sell! Jadi, kalau nggak jadi nomor satu atau dua di bidangnya, lebih baik perusahaannya "didandani", ditutup atau dijual!

Mengapa punya anak perusahaan banyak, tapi jelek dan jadi beban! Apa gagahnya punya kartu nama "Group" kalau perusahaannya kecil-kecil dan pada nggak sehat! Selain itu, Jack Welch mengingatkan, ketika itu, bahwa GE lebih baik fokus karena harus bersaing di Global.

GE harus menjadi perusahaan global, bukan perusahaan Amerika. Waktu itu belum ada Tiongkok yang perkasa kayak sekarang, baru ada Jepang, Taiwan, dan Korea. Tapi, Jack sudah "menutup" bisnis White Good-nya yang berjualan kulkas dan alat rumah tangga lain. Jack berpendapat bahwa pasti GE akan kalah dari pemain Asia dalam bidang itu. Daripada "kalah" nanti, lebih baik "dijual" sekarang!

Tapi, Jack lantas masuk di bisnis yang kira-kira Amerika bisa kompetitif. Karena itu, GE membeli bisnis "keuangan" dan TV. GE Money sekarang hebat begitu juga dengan NBC dengan CNBC-nya! Jadi?

Fokus memang tidak harus satu saja, bisa beberapa. Tapi, ada orang-orang yang fokus dan menghayati bidang masing-masing! Kalau nggak ada orang yang mau fokus di bidang masing-masing dan terus-menerus memantau persaingan dan melakukan perubahan, ya anak perusahaan itu akan jadi beban!

Di GE, setiap anak perusahaan dipimpin orang-orang yang fokus di bidangnya. Di Indonesia pun, sekarang keluarga Hartono dari Djarum Group menjadi keluarga terkaya versi Forbes selama bertahun-tahun. Bukan karena hanya punya satu bisnis. Tapi, mereka punya berbagai bisnis yang nomor satu atau nomor dua! Djarum, BCA, dan Polytron adalah tiga perusahaan dari banyak yang lain dari grup ini yang hebat karena ada orang-orang yang fokus! Tapi, kalau Anda nggak punya banyak orang yang kompeten dan bisa fokus, ya lebih baik satu aja. Tahu dirilah!

Sejak didirikan pada 1 Mei 1990 sampai menjelang ber-HUT ke-20 nanti, MarkPlus ya cuma di marketing! Sekarang kita memang dibantu 200 orang di Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Bali, Makassar, Singapura, Kuala Lumpur, dan Surabaya tentunya. Tapi, divisinya, ya hanya tiga. MarkPlus Consulting tetap nomor satu di Indonesia. MarkPlus Insight di riset ad hoc, terbesar di Indonesia. Sedangkan MarkPlus Institute of Marketing atau MIM untuk pelatihan eksekutif sudah pasti market leader. Plus satu lagi, yaitu Marketeers, yang punya klub di lima kota, majalah, dan internet sangat unik dan praktis tidak punya pesaing yang serupa.

Saya tahu limitasi saya. Saya juga tahu calling saya sendiri! Saya tidak perlu jadi orang lain, asal saya menikmati apa yang saya kerjakan. Beberapa orang mencibir dan mengatakan kepada saya bahwa saya nggak berani masuk bisnis "riil". Beraninya cuma di bisnis consulting! Mereka lupa bahwa bisnis "abstrak" seperti ini jauh lebih sulit. Nggak kelihatan barangnya!

Diserang atas bawah! Pesaing dari luar masuk semua membawa brand name, teknologi, dan sistem. Banyak yang masuk MarkPlus hanya mau belajar. Sesudah jadi alumnus, malah jadi pesaing! Saya juga tahu bahwa ketika persaingan jadi global, Anda harus makin fokus!

Bagaikan di samudera besar, kapal harus jadi kapal induk. Kalau di danau yang tenang, perahu kecil pun oke. Dan, kapal induk perlu lebih fokus! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar