Kiai Alhamdulillah
Setiap kiai mempunyai semacam dzikir unggulan yang selau mewarnai kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ayah saya, al-Maghfur lah KH Bisri Mustofa, misalnya, dalam setiap pembicaraannya sehari-hari tak pernah sepi dari ucapan Laa ilaaha illaLlah. Ada kiai yang sebentar-sebentar mengucap SubhanaLlah; ada yang AstaghfiruLlah; Laa haulaa walaa quwwata illa biLlah; dsb.
Kiai Syahid lain lagi. Begitu seringnya beliau menyebut AlhamduliLlah, sampai-sampai ada yang menjulukinya Kiai Alhamdulillah dan menjuluki pesantrennya dengan Pesantren Alhamdulillah. Mereka yang pernah datang ke pesantren beliau, di desa Kemadu sekitar 9 km dari Rembang ke arah selatan, tidak hanya akan mendengar dzikir itu meluncur berulang-ulang dari mulut beliau, tapi juga akan merasakan muatan syukur yang dalam dari cara beliau melafalkannya. Alhamdulillah!
Boleh jadi kebiasaan menyeru Alhamdulillah ini dapat dijadikan kunci untuk memahami Kiai Syahid, kiai desa yang rendah hati ini. Setiap hari, puluhan bahkan terkadang ratusan tamu datang ingin bertemu beliau. Ada yang sekedar silaturrahim, ada yang hanya ingin kenalan, ada yang ingin mendapatkan doa-restunya, ada yang mengeluhkan berbagai masalah pribadi, dan terbanyak adalah mereka yang sekedar ingin memperoleh ketenangan batin.
Kiai Syahid memang seperti mempunyai hoby menyuguh tamu. Setiap hari rumahnya diserbu tamu dari berbagai kalangan. Tak peduli kebangsaannya; tak peduli keyakinannya; tak peduli ideologi politiknya; tak peduli status sosialnya; tak peduli jenis kelaminnya; siapa saja boleh datang dan beliau terima dengan ‘Alhamdulillah!’ (Terhitung mulai mBak Tutut, Suryadi, Gus Dur, mbak Mega, Martin Van Bruinessen, Danarto, Abdul Hadi WM, Almarhum Arifien C, Noor, Amak Baldjun, Dedi Mizwar, Neno Warisman, hingga engkoh Ong Ho agen Bus Malam, pernah datang ke kiai yang rendah hati ini). Syaratnya satu, kecuali yang sedang puasa di siang hari, setiap tamu harus makan di rumah beliau. Meski suguhannya ala kadarnya, tapi sikap beliau selalu membuat hidangan yang disuguhkannya dirasa nikmat oleh tamu-tamunya.
Meskipun kadang-kadang ada juga tamu yang tak tahu diri, datang tanpa mempertimbangkan waktu (pernah ada tamu rombongan dua bus tengah malam), beliau tetap menerimanya dengan ‘Alhamdulillah!’. Begitu cepatnya keluarga kiai kharismatik ini menyuguh hidangan makan, sampai-sampai cerpenis Danarto yang suka mentraktir jajan dan pernah menulis tentang Kiai Syahid dengan judul yang sama dengan tulisan ini, setelah berkunjung ke Kemadu, berkomentar, “Kiai Alhamdulillah itu jika menyuguh makanan kepada tamunya kok lebih cepat dari warung Padang!”
Beliau memang cukup kaya, beliau bertani dan berternak, namun orang yang pernah iseng menghitung-hitung tamu yang datang kepada beliau dan beaya untuk menjamu mereka setiap harinya, tetap saja bingung. Apalagi ada kebiasaan lain dari kiai yang satu ini, yaitu bila tamunya termasuk kenalan dekat, pulangnya selalu dibawai macam-macam hasil kebun atau ternaknya.
Karena kiai Syahid guru thariqah dan sekaligus kiai syariat, maka santri-santrinya terdiri dari kakek-kakek hingga kanak-kanak. Karena santrinya selalu bertambah, kiai Syahid tak henti-hentinya membangun tempat tinggal untuk santri-santrinya. Dalam setiap membangun, beliau sendiri selalu ikut terjun langsung bersama tukang-tukang dan menyemangati mereka dengan shalawat Nabi.
Bila saya datang, sering kali saya sengaja diajaknya keliling; melihat-lihat bangunan barunya. Dan selalu saja suasana syukur terasa menebar dari diri beliau, sebagaimana ketika beliau mengawani tamu-tamunya makan, sebagaimana juga ketika beliau menyelipkan “Alhamdulillah” dalam pembicaraannya. Seolah-olah beliau sengaja menularkan syukur dan mengajarkannya kepada mereka yang ada di sekeliling beliau.
Meski kiai Syahid dikenal begitu santun kepada setiap orang, namun dasar manusia, pernah juga beliau kena fitnah dari orang yang hasud. Ceritanya, pada waktu zaman orde baru, beliau pernah mendapat bantuan motor pembangkit listrik dari salah satu instansi pemerintah yang –seperti umumnya waktu itu— diakukan sebagai bantuan dari salah satu partai. Ketika bantuan itu tidak beliau terima, kepala kantor instansi yang bersangkutan mengadukannya kepada Muspida dan kiai Syahid pun dipanggil. Di hadapan muspida dan penjabat-pejabat lain serta beberapa kiai, seperti biasanya, dengan kalem kiai Syahid memberikan penjelasan: “Mohon maaf, Bapak-bapak, bukannya kami menolak anugerah yang diberikan pemerintah; sebaliknya, Alhamdulillah, kami sangat bersyukur dan berterimakasih sekali. Hanya saja kami menyadari kelemahan kami; dari kalangan pesantren kami belum ada yang terbiasa dengan mesin itu. Kami khawatir, bantuan yang diberikan dengan baik hati oleh pemerintah itu, tidak dapat kami rawat secara baik. Biasanya orang hanya berpikir senangnya saat menerima bantuan, namun lupa merawatnya. Kami menghindari hal yang semacam itu.”
“Ini pertama;” kata kiai Syahid lebih lanjut, “kedua; karena ingin ikut mendapat ganjaran, kawan-kawan kampung selama ini, banyak yang menyumbangkan lampu-lampu petromaks, Alhamdulilah. Ada yang secara rutin menyumbangkan minyaknya. Kami tidak bisa begitu saja menyetop bantuan mereka dan mengecewakan keinginan mereka itu.”
Alhamdulillah, penjelasan dan alasan yang lugu dari kiai Syahid itu dapat diterima oleh umumnya para petinggi pemda yang hadir.
Meskipun mempunyai pesantren yang cukup luas, kiai Syahid mengajar dan mendidik tidak hanya di pesantrennya dan tidak hanya dengan kata-kata. Di mana saja, bahkan di sawah, beliau bisa mengajar. Kebanyakan ajarannya disampaikan tidak secara langsung; kadang-kadang melalui cerita; kadang-kadang sambil menunjuk fenomena sekitar; kadang-kadang justru seperti bertanya. Umumnya penekanan beliau ya sepeti selalu dikesankan oleh sikapnya sendiri: kepada penanaman landasan syukur dengan menyadarkan orang akan betapa tak terhitungnya kenikmatan dan anugerah Allah.
Hamba yang tidak tahu bersyukur bisa tampil menjadi orang yang congkak; bisa tampil menjadi orang yang tamak; dan yang terberat tampil menjadi orang yang kafir. Bukankah justru kufurr adalah kebalikan dari syukur? Waidz ta’dzdzana Rabbukum lain syakartum la aziidannakum walain kafartum inna ‘adzaabii lasyadied. (Q. 14: 7) “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sungguh jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah anugerah nikmat kepadamu dan jika kamu mengkufuri anugerah nikmatKu, sesungguhnya azabKu sangat dahsyat.”
Sebaliknya hamba yang bersyukur mempunyai dada yang senantiasa lapang; tampil menjadi orang yang optimis; tampil menjadi orang yang pemurah; dan tampil menjadi orang yang bergairah melakukan ibadah.
Dan hari Jum’at, sayyidul ayyaam, tanggal 3 September 2004, kiai yang dicintai umatnya itu, sambil tersenyum, pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya menuju keharibaanNya. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun. Puluhan ribu manusia pun mengantarkan senyum syukur sang kiai dengan menangis.
Sumber : www.gusmus.net
Minggu, 07 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar