Senin, 08 Februari 2010

Mereposisi Diri pada Situasi Berbeda

Grow with Character (20/100) Series by Hermawan Kartajaya
Mereposisi Diri pada Situasi Berbeda

WALAUPUN hanya mendapatkan job untuk memberikan pelatihan kepada mantan anak buah di divisi distribusi Sampoerna, itu sudah cukup bagus. Saat menangani job itu, selama setahun saya harus keliling Indonesia, mengunjungi seluruh region yang dulu saya buat strukturnya.

Saya tahu persis apa yang mereka sudah tahu dan jago. Dan, apa lagi yang sebenarnya mereka butuhkan. Mereka adalah para "jago lapangan", mulai tingkat salesman, supervisor, hingga manajer.

Mereka tahu persis bagaimana menjalankan pengecekan stok langganan sambil menawarkan barang untuk diorder. Mereka juga sudah terbiasa memasang merchandise seperti poster, stiker, dan alat-alat promosi lain di retailer. Mereka juga jeli melihat perkembangan promosi para pesaing. Selain itu, mereka cekatan untuk bertanya dan mencatat omzet berbagai merek besar untuk perkiraan market share. Itu yang dikerjakan para salesman.

Para supervisor sudah pintar merancang rute-rute kanvas yang akan dijalankan salesman. Supervisor juga sudah hebat dalam mengawasi kerja salesman dan laporannya. Karena sebagian besar berasal dari salesman, para supervisor segera tahu kalau melihat ada laporan yang "dikarang". Mereka juga mengawasi produktivitas salesman dan menghitung pencapaian target penjualan areanya. Supervisor juga tahu cara melaksanakan kegiatan below the line di area masing-masing. Para supervisor yang biasanya sudah lama di lapangan ini, punya market sensing yang kuat.

Sedangkan para manajer wilayah atau region lebih berpengalaman lagi. Mereka hebat dalam merancang dan menjalankan time and territory management. Mereka bertanggung jawab terhadap omzet region di bawah kendalinya. Mereka juga bertanggung jawab terhadap logistik dan inventory yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Mereka juga sudah jadi human resources manager di wilayahnya. Mereka harus tahu bagaimana menjalankan policy perusahaan di wilayah masing-masing.

Mereka juga harus bisa memberikan motivasi kepada bawahannya yang lagi kurang bergairah. Tapi, mereka juga harus berani menegakkan disiplin dan memberikan evaluasi atas bawahannya. Lantas? Apalagi yang harus saya latihkan kepada mereka?

Jawabnya, saya harus bisa "mengisi" yang kurang dari mereka! Karena itu, saya memberikan pelatihan yang bersifat "strategic". Semua yang dilakukan selama ini adalah "tactical" dan "rutin". Nah, yang saya berikan adalah cara berpikir "strategic", baik dalam penjualan, penyediaan, dan manajemen.

Saya jaring mereka untuk melihat pasar dari "atas". Saya katakan bahwa kelebihan orang yang biasa ada di pasar adalah dengan cepat bisa melihat apa yang terjadi. Tapi, karena sibuk dengan operasional sehari-hari, biasanya lemah dalam melihat big picture.

Seorang salesman yang "strategic", misalnya. Dia bisa tahu bahwa kayaknya mulai sulit menjual produk tertentu. Dia tidak hanya mengecek dan mencatat angka-angka, tapi juga belajar menganalisis. Mereka harus mampu mulai mencari apa kira-kira penyebab makin sulitnya berjualan produk tertentu itu. Kemudian mereka menulis dalam laporannya kepada supervisor. Mereka juga harus mampu "menguasai" sejumlah langganan tetap yang diserahkan kepadanya. Melaporkan pada supervisor, langganan mana yang mulai "malas" berjualan atau bahkan "akan bangkrut".

Supervisor juga harus mampu berpikir "strategic" untuk area masing-masing. Bukan cuma menjadi "kantor pos" untuk meneruskan laporan dari salesman ke manajer. Atau meneruskan instruksi manajer ke salesman. Supervisor harus bisa "mengolah" laporan para salesman menjadi suatu kesimpulan komprehensif.

Supervisor juga saya ajari menganalisis kegiatan para pesaing, baik dalam above maupun below the line di areanya. Dia tidak boleh percaya begitu saja pada laporan salesman. Dia harus bisa turun ke rute salesman untuk mengecek dan mencari kebenaran akan sense-nya.

Sedangkan para manajer, saya ajari menjadi "marketing manager kecil". Walaupun mereka resminya cuma bertanggung jawab atas distribusi, ternyata mereka bangga kalau bisa mengerti "perang marketing" di wilayah masing-masing.

Saya katakan kepada mereka bahwa seseorang, apa pun jabatannya, punya tiga tugas. Pertama, menguasai pekerjaan dan menyempurnakan pekerjaan masing-masing. Kedua, mempersiapkan diri untuk jabatan yang lebih tinggi dengan menambah pengetahuan baru. Ketiga, menyiapkan pengganti untuk dirinya bila kelak dipromosi.

Nah, dengan cara seperti itu, akhirnya saya "diterima" oleh mantan anak buah saya. Mereka merasakan ada sesuatu yang "berbeda" dari ajaran saya sebagai pelatih ketimbang waktu sebagai bos mereka.

Memang benar kan? Waktu saya jadi bos, saya terpaksa menjalankan hubungan vertikal "atas bawah". Memberikan instruksi, mengawasi, dan mengevaluasi pekerjaan mereka. Ada yang suka, ada yang tidak suka. Nah, sebagai trainer, saya sudah di "pinggir lapangan" dan menempatkan diri untuk "mendukung" mereka.

Dengan kata yang lebih keren, saya harus mereposisi diri kalau mau sukses sebagai trainer. Dari vertikal ke horizontal. Dari "orang dalam" jadi "orang luar''. Dari "pengawas" jadi "pelatih". Wow! Terus terang tidak gampang. Tapi, terus terang, di situlah saya menyadari bahwa sebenarnya saya sudah harus melakukan fungsi sebagai trainer juga waktu masih jadi manajer! Mendidik mereka untuk berpikir "strategic", apa pun posisi mereka. Tidak ada jabatan yang terlalu rendah untuk berpikir strategic! Pelajaran dari semua ini?

To be successful, you must be able to reposition yourself in different situations. Jadilah air yang bisa selalu berubah bentuk mengikuti tempatnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar