Grow with Character! (29/100) Series by Hermawan Kartajaya
Tukang Jahit, Rambo, Unilever, McDonald, dan Dell
MODEL Empat C yang pertama saya perkenalkan pada 1993 menggambarkan perubahan situasi persaingan. Ketika itu saya melihat bahwa Pak Harto mulai membuka kesempatan untuk bersaing di berbagai industri. Situasi persaingan atau competitive setting berbagai industri berbeda-beda.
Karena itu, saya lantas membuat tahapan dari situasi persaingan itu sendiri. Dari 2C sampai ke 4C, dari stable sampai ke chaos. Dari tidak ada competitor sama sekali atau none sampai ke invisible. Artinya?
Dari suatu situasi monopoli sampai ke suatu situasi yang sangat kacau karena pesaingnya "tidak kelihatan".
Bagaimana customer? Mulai posisinya sebagai buyer sampai ke partner. Artinya, dari posisi take it or leave it sampai ke "mitra". Dan, change-nya sendiri dari none atau tidak ada pesaing sampai ke surprising atau mengejutkan.
Nah, dari situasi 2C ke 4C itu, saya lantas menggambarlkan adanya tiga competitive setting di antaranya. 2,5C kalau situasinya interupted, di mana competitor sudah ada, tapi masih mild dan ada change yang bersifat gradual. Karena itu, customer sudah membaik posisinya jadi consumer, bukan sekadar buyer.
Selanjutnya, situasi 3C apabila change sudah continuous atau mulai "deres" dan competitor sudah strong, tidak mild lagi. Pada saat inilah pelanggan benar-benar jadi customer seratus persen, bukan hanya consumer.
Situasi persaingan keempat adalah 3,5 C atau sophisticated ketika change jadi discontinuous dan competitor jadi wild atau liar! Maka customer pun makin bagus posisinya, jadi client. Dengan demikian, ada lima situasi persaingan, yaitu 2C sampai dengan 4C.
Sejalan dengan hal itu, orientasi company pun berubah-ubah, dari producer ke seller ke marketer ke specialist and service provider! Perubahan orientasi ini sebagai konsekuensi dari perubahan 3C yang pertama.
Supaya jelas, saya juga pakai ilustrasi grafis dengan empat bulatan yang ada huruf C di dalamnya. C-nya company berhadapan dengan C-nya competitor, sedang C-nya customer ada di atas.
Mengapa begitu? Ya, karena company bersaing dengan competitor untuk melayani customer. Sedangkan C-nya change saya gambarkan di bawah, tapi merupakan "driver" perubahan. Karena itu, saya lengkapi dengan gambar lingkaran yang melingkupi 3 C yang pertama.
Huruf-huruf C-nya sendiri muncul berturut-turut dari 2C ke 4C untuk menggambarkan situasi yang semakin berat. Begitu juga dengan "anak panah" yang arahnya berubah-ubah untuk memperkuat makna yang saya maksud.Model empat C ini juga menggambarkan dengan mudah bahwa sebuah company harus berubah orientasi. Dari production-oriented (2C) ke selling-oriented (2,5C) ke marketing-orinted (3C) ke market-driven (3,5C), dan customer-driven (4C). Hampir semua BUMN pada waktu itu masih production-oriented karena praktis tidak punya pesaing.
Yang penting memproduksi sesuatu, tidak peduli akan kepuasan pelanggan. Mengapa? Ya, karena nggak punya pesaing! Sampai sekarang pun, banyak perusahaan yang seperti ini walaupun punya pesaing.
Bisakah mereka hidup? Bisa, tapi harus terus meningkatkan kualitas, menekan biaya, dan mau menerima marjin yang "ditakar" pembelinya. Namanya "tukang jahit"! Situasi begini rawan, karena buyer bisa memindahkan pesanan at any time.
Saya pernah bertemu orang Indonesia yang bekerja untuk mengawasi pabrik-pabrik Adidas di Vietnam. Dia orang hebat karena mengawasi semua pabrik Adidas di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Tapi, dia menyatakan dengan jelas bahwa Adidas tidak segan-segan memindahkan pesanan pada pabrik yang bisa memberikan The Best QCD (quality, cost, and delivery).
Bagaimana selling-oriented company. Ini jenis perusahaan yang mengandalkan kepiawaian pada "penjualan", belum pada marketing. Yang penting punya "tenaga penjual" yang rajin menawarkan produk atau jasa kepada pelanggan. Masih lebih bersifat push ketimbang pull.
Diskon lebih penting daripada citra. Transaksi jangka pendek lebih penting daripada relasi jangka panjang. Bahkan, komisi dan bonus lebih penting daripada karir dan nama baik. Yang penting harus agresif dan rajin "menubruk" prospek. Makin banyak yang "ditubruk" makin baik. "Ketuk sepuluh pintu, maka Anda akan dapat dua pembeli. Ketuk seratus pintu, Anda akan mendapat dua puluh pembeli!"
Pada era sekarang, para retailer dan broker yang hanya selling oriented akan tertekan oleh biaya tinggi karena tidak "menembak dengan tepat". Mereka meniru Rambo yang ngobral peluru dan musuhnya belum tentu "kena". Masalahnya, Rambo nggak pernah mati di filmnya.
Sedangkan penjual yang "ngawur" akan mati. Ada filmnya juga, The Death of Salesman. Matinya seorang salesman karena hidupnya sangat kacau.
Pada 1993, marketing-oriented company belum banyak di Indonesia. Contoh terbaik waktu itu, ya Unilever. Pabriknya sederhana saja, distribusi diserahkan kepada orang lain, tapi brand-nya kuat!
Waktu itu, Unilever dianggap sebagai "University of Marketing" di Indonesia! Para fresh graduate bekerja di sana untuk belajar marketing.
Bahkan, Citibank pun harus "membajak" Enny Hardjanto dari Unilever untuk menjadi marketing director, ketika mau masuk ke credit card di Indonesia. Sekarang?
Sudah sangat banyak perusahaan nasional, bahkan lokal, yang marketing oriented. Bukan hanya sadar akan pentingnya brand, tapi juga segmentasi, positioning, service, dan sebagainya! Tapi, saya tidak berhenti sampai di situ!
Pada 1993 itu saya sudah "melihat" adanya tren menuju ke market-driven dan customer-driven company, beyond-traditional marketing! Mereka menjalankan semua elemen marketing, tapi mereka melangkah lebih jauh.
Bukan hanya mencari tahu need and want customer yang sudah ada, tapi mencari peluang lain karena persaingan sudah jadi 3,5C, bahkan 4C! Waktu itu belum ada contohnya yang jelas di Indonesia, karena Pak Harto masih sangat kuat! Pak Harto bisa "mengontrol" pembukaan persaingan to family and friends saja! Tapi, di luar sudah banyak, karena persaingan sangat ketat.
Market-driven company adalah sebuah perusahaan yang mencari terus apa yang "sebenarnya" dimaui pasar, termasuk harga "yang diinginkan"! McD yang ketika masih bernama lengkap McDonald terus menciptakan menu dan paket baru dengan harga terjangkau untuk "mengalahkan" KFC yang waktu itu namanya masih Kentucky Fried Chicken!
Istilah value for money jadi terkenal. Di Indonesia, di era sekarang, Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia adalah contoh konkret. Ketika itu, pasar mobil multi purpose vehicle (MPV) di bawah seratus juta rupiah "kosong" ditinggalkan Kijang. Maka dibuatlah Avanza/Xenia yang setelah bertahun-tahun masih ngantre walaupun harganya sudah di atas seratus juta rupiah!
Ketika persaingan tambah sengit, perusahaan seperti Dell mengejutkan orang dengan sistem Dell Direct-nya! Era One on One Marketing pun terbit! Tiap customer berhak mendapatkan komputer yang dia maui. Ini tidak mudah, karena harus punya sistem mass customization yang efisien.
Di Indonesia, saat ini, beberapa perusahaan terbatas melakukan one on one service. Besok akan saya ceritakan bagaimana saya terus mengembangkan dan memasarkan model Empat C ini sampai akhirnya jadi model marketing kelas dunia! (*)
Rabu, 17 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar